Manusia mudah dipengaruhi oleh lingkungannya,
utamanya teman pergaulannya. Karenanya Nabi bersabda, ”al-mar’u ’alaa
diini khaliilihi”, (keadaan) seseorang itu tergantung agama temannya.
Karakter ini tidak selalu berdampak negatif. Tergantung bagaimana cara
dan kepada siapa seseorang bergaul. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
mengumpamakan teman pergaulan laksana makanan. Di antara makanan ada
yang mengandung racun, membahayakan tubuh jika dikonsumsi. Ada pula yang
menjadi obat, diperlukan di saat sakit, tapi ditinggalkan dikala sehat.
Dan ada pula makanan bergizi, yang secara rutin layak untuk dikonsumsi.
Begitulah halnya dengan sahabat. Pertama ada tipe ’racun’. Bergaul
dengannya hanya mendatangkan kerugian. Tertular kebiasaan buruk,
terpadam semangat untuk taat atau minimal ikut tercemar nama baiknya.
Seperti bergaul dengan para pemalas yang akan menularkan kemalasan. Atau
kepada para penyeru kesesatan yang akan mewariskan kesesatan. Juga
orang-orang fajir yang cepat atau lambat akan menyeret teman-temannya
kepada dosa dan kejahatan.
Yang kedua adalah teman yang diumpamakan obat yang diperlukan dikala
sakit. Seperti para relasi yang berhubungan dengan keperluan ma’isyah
dan jual beli. Bermuamalah dengan mereka bisa menutup sisi kekurangan
duniawi kita. Namun karena fungsinya sebagai obat, maka takaran atau
dosisnya pun harus tepat, tidak boleh berlebihan dan melampaui batas
yang justru akan menimbulkan madharat.
Teman Sejati Ibarat Nutrisi
Yang paling bermanfaat adalah teman yang diumpamakan layaknya nutrisi
bergizi. Jika dikonsumsi secara teratur, kondisi tubuh menjadi fit,
kekuatan tubuh terjaga dan seluruh fungsi tubuh berjalan secara sehat.
Teman yang baik akan menginspirasi banyak kebaikan, mengingatkan disaat
khilaf dan menguatkan di saat lemah. Teman semisal ini sesuai dengan apa
yang diumpamakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai penjual
minyak wangi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah
hadits shahih bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ
كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ
يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ
رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
”Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti
penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi
mungkin akan memberikan hadiah minyak wangi kepadamu, atau engkau akan
membeli minyak wangi darinya, atau setidaknya engkau akan mencium aroma
wangi darinya. Adapun bersama tukang pandai besi, bajumu bisa terbakar
karena apinya, atau setidaknya engkau pasti akan mendapati bau tak
sedap.” (HR Muslim)
Pertemanan dengan orang-orang yang baik dan shalih akan menjadi pupuk
bagi keimanan kita. Pertemuan dengan mereka akan menyegarkan dan
menguatkan keyakinan kita. Nasihat-nasihat mereka ibarat siraman air di
tanah yang tandus. Betapa sangat dibutuhkan teman seperti ini, apalagi
di saat menghadapi pilihan yang sulit. Seperti yang pernah dialami Imam
Ahmad bin Hambal saat mendapatkan intimidasi penguasa lantaran teguh
dengan pendapatnya, bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk.
Adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lam an-Nubala’ menuliskan penuturan Abu Ja’far al-Anbari,
”Telah sampai berita kepadaku bahwa Imam Ahmad ditangkap oleh
al-Ma’mun. Maka aku segera menyeberangi sungai Eufrat. Setelah tiba, aku
dapati Imam Ahmad di tempatnya dan kuucapkan salam kepadanya. Beliau
berkata, ”Wahai Abu Ja’far, engkau telah menyusahkan dirimu.” Lalu aku
berkata, ”Wahai Imam, engkau sekarang ini adalah pemimpin, dan kaum
muslimin berada di belakangmu. Jika Anda mengatakan al-Qur’an adalah
makhluk, niscaya semua orang akan mengatakan hal yang sama. Dan jika
Anda tetap tegas mengatakan bahwa al-Qur’an itu (Kalamulllah) bukan
makhluk, maka umat akan berpendapat sama.Sementara jika Anda tidak mati
dibunuh oleh penguasa, toh Anda juga akan mati dengan cara yang lain.
Maka bertakwalah kepada Allah dan jangan turuti kemauan mereka.”
Mendengar nasihat ini, Imam Ahmad menangis seraya berkata, ”Masya
Allah! Wahai Abu Ja’far, ulangilah nasihat Anda.” Akupun mengulanginya
dan beliau kembali mengucapkan, ”Masya Allah!”Mencari
Sahabat Pelecut Semangat
Sebagaimana dalam kontek keimanan, dalam hal menjaga semangat
belajar, motivasi untuk berusaha dan antusias untuk mendapatkan
kemaslahatan dan cita-cita luhur, teman juga memiliki pengaruh yang
besar. Selayaknya kita banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki
cita-cita besar, enerjik dan teguh pendirian. Karena berteman dengan
mereka menjadi energi tersendiri untuk memupuk ’iradah’ (kemauan) yang
mulia dan melecut semangat untuk meraih segala hal yang bermanfaat.
Kita bisa menengok sejarah para ulama. Kesuksesan mereka ternyata
banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang berada di dekatnya. Keulamaan
Ikrimah bin Abdillah, dipengaruhi oleh ’kehebatan’ majikannya, Abdullah
bin Abbas radhiyallahu ’anhuma. Salim bin Abdullah bin Umar yang banyak
terinspirasi oleh keshalihan dan kefaqihan ayahnya, Abdullah bin Umar
bin Khaththab.
Jika ada keterbatasan untuk mendapatkan teman yang mampu meletupkan
semangat, maka kita bisa pula mengais inspirasi dengan bergaul bersama
para ulama dan tokoh sepanjang sejarah. Yakni dengan membaca sejarah dan
kisah-kisah mereka, sehingga kita seakan berteman dengan mereka. Inilah
yang dilakukan oleh Abdullah bin Mubarak rahimahullah, yang
disebut-sebut sebagai ’amiirul mukminin fil hadiits’, pemimpin
orang-orang yang beriman dalam hal hadits.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita para sahabat yang bisa
membantu dan menginspirasi kita meraih faedah di dunia dan akhirat. (Abu
Umar Abdillah)