Minggu, 06 Mei 2012

Merubah Kebiasaan


Hidup adalah pilihan. Apa yang ingin dan tidak ingin kita kerjakan, kembali kepada keputusan kita; baik buruknya, pantas tidaknya, dan untung ruginya. Namun yang sering kita lupa, bahwa nilai diri dan hidup kita, sebenarnya, adalah akumulasi dari berbagi pilihan itu.
Terkadang kita tidak menyadari bahwa proses yang akumulatif itu sering menyajikan fakta-fakta mengejutkan. Bahwa hal yang tampak sepele dalam sekali pelaksanaannya, menjadi sangat berarti dalam pengulangannya sekian tahun ke depan. Baik maupun buruk. Hal yang sering membuat kita terkejut-kejut.
Membaca al-Qur’an beberapa ayat sehari bisa tampak sangat remeh, tapi tidak jika terakumulasi dalam sekian tahun. Sebatang rokok yang kita hisap setiap hari, jelas akan sangat memengaruhi kesehatan kita dalam beberapa tahun di muka. Bukankah tidak menjadi kecil, dosa-dosa yang dibiasakan, meski tampak sepele?
Kita faham bahwa kebiasaan menunda-nunda, berkomunikasi secara buruk, lebih suka bicara daripada mendengar, sibuk bekerja hingga waktu untuk keluarga sempit, egois dan banyak lagi yang lain adalah hal yang buruk? Tapi mengapaa banyak di antara kita yang masih saja membiasakannya? Hingga kita sangat menghajatkan pendidikan untuk hal-hal yang bahkan sudah jelas.
Maka, cerdas memilih kebiasaan harian, kemudian berusaha istiqamah dalam pilihan itu adalah prestasi tersendiri yang tidak bisa diremehkan. Selain karena kita memang jarang merenung untuk berfikir tentang masa depan, juga karena kita sering tidak berdaya untuk mengubah kebiasaan buruk, meski kita tahu akibat yang akan timbul, karena sudah mengakar kuat dalam perilaku keseharian kita. Rasulullah menyatakan bahwa hamba yang cerdas adalah dia yang bisa mengendalikan nafsu dan bisa beramal untuk hidup sesudah mati.
Artinya, kita bisa kehilangan kecerdasan jika tidak mengontrol keinginan nafsu. Hanyut dalam kenikmatan instan yang disajikan, hingga bersikap masa bodoh tentang berbagai kemungkinan buruk di masa mendatang. Atau kita hanya berfikir hari ini, dunia ini, dan lupa bahwa ada akhirat yang menjadi hari pertanggungan jawab.
Maka, menjadikan muhasabah atau instropeksi diri sebagai kebiasaan akan menjamin kita berada dalam jalur kebaikan. Kemudian melakukan kebiasaan baik dan tekun melaziminya meski tampak sulit. Kelak, dalam rentang waktu yang lama, kita akan memanen hasilnya dengan manis. Karena apa yang kita biasakan akan menjadi akhlak kita. Akan membentuk integritas diri kita.
Kebiasaan menjadi 90 % perilaku normal kita. Sesuatu yang sering kita perbuat hingga menjadi mudah, dan memberi perasaan nyaman karena kita lakukan tanpa perlu pemikiran yang mendalam. Ia berjalan secara mekanik, menggambarkan diri kita dari sisi lahiriahnya. Bagaimana kita bangun tidur, berpakaian, sarapan, menyapa, menggosok gigi, menata meja, menyelesaikan masalah, bersikap di dalam rapat dan ratusan bahkan ribuaan perilaku kita yang lain, adalah buah dari apa yang kita putuskan untuk kita biasakan.
Di sisi lain, meski membuat perasaan kita nyaman, sebuah rutinitas yang terlalu banyak, bisa menjebak kita kepada rasa puas diri yang berujung kepada kebosanan. Seringkali dengan keadaan standar yang menghambat keluarnya potensi diri yang sebenarnya. Karena kita menjadi malas dan miskin berkreasi, terlanjur nyaman dengan apa yang sudah ada.
Tapi, bagaimana jika banyak dari kebiasaan kita adalah hal yang buruk, bahkan ia bisa memengaruhi orang-orang lain di sekitar kita? Karena sebagai suami, apa yang kita kerjakan dan biasakan, apalagi ia buruk adanya, tentu sedikit banyak akan berpengaruh kepada anak-anak dan istri-istri kita. Sedang banyak di antara kita yang enggan untuk merubahnya. Memang sulit jika dibayangkan, namun insyallah mudah jika kita memiliki tekad yang kuat dan komitmen yang tinggi.
Al-jazaa’ min jinsi al-‘amal, balasan akan sebanding dengan kerja, begitu kira-kira. Sebuah sunatullah yang harus kita yakini agar kita memiliki tekad yang kuat untuk berubah. Karena kita ingin memanen hasil yang baik, dan takut mendapat akibat yang buruk. Dan itu ditentukan oleh apa yang akhirnya lakukan. Juga konsistensi kita dalam pengerjaannya.
Konsistensi penuh dan sungguh-sungguh untuk hasil yang maksimal. Tidak bisa setengah-setengah apalagi apa adanya. Karena jika kita mendapat tekanan dan stres, sangat mungkin kita akan kecewa, putus asa, hingga akhirnya kembali kepada kebiasaan lama. Untuk kemudian semuanya menjadi sia-sia. Maka kita harus fokus, disiplin dan kuat.
Secara umum, sebuah kebiasaan baru membutuhkan waktu sekitar 3-4 minggu agar menjadi mudah bagi kita. Meski ia juga tergantung pada kedalaman sebuah kebiasaan buruk yang sudah mengakar di dalam diri kita. Semakin lama ia sudah menjadi bagian dari kebiasaan kita, semakin sulit upaya untuk merubahnya meski bukan berarti tidak bisa.
Untuk itu, selain menguatkan akidah dan mempertajam ilmu tentang tujuan hidup agar kita memiliki tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik, dukungan orang-orang sekitar, terutama keluarga sangat dibutuhkan. Para pendukung yang tulus, sebab mereka mengharapkan kita, suami dan ayah mereka, menjadi yang terbaik sebagai imam mereka.
Iman akan membimbing kita kepada cita-cita hidup yang tinggi, memampukan kita menjalani kesulitan dan penderitaan sebab harapan kemuliaan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat telah terpatri dengan kuat di dalam dada.
Kita ingin menjadi hamba Allah yang baik, dan itu dimulai dari hal-hal baik yang kita yakini, ucapkan, serta biasakan dalam pengamalannya. Allah tidak akan merubah kita jika kita tidak merubah diri kita sendiri. Tapi, mulai kapan kita bersungguh-sungguh untuk memulainya?