“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Disebutkan dalam Kitab Uyunul Atsar, Imam Zuhri mengisahkan, “Bahwa
suatu ketika Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq secara
sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasalam. Masing-masing mengambil posisi untuk mendengarkan lantunan
ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi masing-masing, yang
tidak diketahui oleh yang lain. Hingga ketika Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu
sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela dan membuat
kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam.
Namun pada malam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa
menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an.
Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, dan mereka pun menempati posisi
mereka masing-masing. Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. usai
melaksanakan shalat, mereka pun selalu memergoki yang lainnya di jalan.
Dan terjadilah saling cela sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, lagi-lagi mereka rindu untuk mendengarkan
Al-Qur’an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya.
Dan manakala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam usai melaksanakan
shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka
bertiga membuat janji satu sama lain untuk tidak kembali ke rumah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Begitulah, meski mereka memungkiri kenabian Muhammad shalallahu
‘alaihi wasalam, namun hati kecil mereka tidak bisa ditipu, bahwa
Al-Qur’an itu indah, benar dan menakjubkan. Berbagai alasan, argumen dan
kilah sebenarnya tidak bisa mengelabuhi perasaannya,
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah:14-15)
Rumus ini berlaku bagi siapapun yang menyelisihi kebenaran, baik yang
ringan maupun yang berat. Mereka sebenarnya hanya membohongi diri
sendiri tatkala lebih memilih menyelisihi daripada tunduk dan patuh
terhadap kebenaran.
Sejenak kita introspeksi dan jujur terhadap diri sendiri. Tatkala
diri merasa malas untuk belajar ilmu syar’i, berbagai alasan muncul
untuk membela diri. Sibuk dengan pekerjaan, ada keperluan yang tak bisa
ditinggalkan, kesulitan kendaraan, tidak ada tempat kajian, kurang enak
badan dan seabrek alasan yang lain. Ketika itu, nurani kita bisa
mengukur, apakah semua yang kita utarakan itu benar-benar menjadi udzur,
hingga betul-betul tak memiliki peluang untuk menambah ilmu syar’i?
Jawabanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa
ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,
meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” Diri kita sendiri yang tahu
akan kebenaran alasan kita, selagi jujur dengan hati nurani.
Begitupula, tatkala ada yang lama tidak menampakkan diri di masjid
untuk shalat berjama’ah, berbagai argumen juga digelar agar orang lain
memaklumi. Alasan tidak wajib, ada urusan penting, badan masih kotor
karena belum mandi, jauh dari masjid, tidak mendengar adzan, tidak bisa
khusyuk shalat di masjid dan masih banyak alasan yang lain. Apakah
alasan ini dibuat-buat ataukah tidak, sebenarnya diri kita sendiri
mengetahui. Diri kita menjadi saksi atas apa penyebab sesungguhnya
ketidakhadiran kita ke masjid untuk berjamaah. Kita juga menjadi saksi
akan kejujuran atau kedustaan lisan kita saat mengungkapkan alasan.
Sebagaimana dalam hal meninggalkan ketaatan, setiap kemaksiatan
seringkali dicarikan alasan oleh pelakunya. Agar orang lain memaklumi,
mengapa dia melakukan itu semua. Alasan belum tahu ilmunya, menurutnya
tidak berdosa, tidak sengaja melakukannya, hanya coba-coba dan sederet
alasan yang bisa dipaparkan. Tapi, kebenaran ucapannya diuji oleh hati
nuraninya sendiri. Benarkah ia belum tahu ilmunya, betulkah berdasarkan
ilmu yang diketahuinya itu tidak berdosa dan seterusnya. Cukuplah kita
katakan kepadanya, ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau alqaa
ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,
meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Jika kita merenungkan hal ini, niscaya kita dapatkan perkara yang
sangat mengherankan, apa gunanya alasan-alasan itu dikemukakan jika
tidak sesuai kenyataan? Siapa yang rugi dengan kebohongan itu? Bukankah
dirinya sendiri yang rugi? Tidakkah ini berarti membinasakan diri
sendiri? Memang aneh, tapi faktanya banyak orang yang berusaha
menjerumuskan diri sendiri.
Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
”Setiap manusia itu berusaha, maka ia mempertaruhkan jiwanya, ada
yang usahanya itu menyelamatkan dirinya, ada pula yang membinasakan
dirinya.” (HR Muslim)
Orang yang membohongi diri sendiri termasuk golongan orang yang usahanya untuk membinasakan diri sendiri dalam konteks ini.
Setelah hati nurani kita di dunia menjadi saksi atas setiap alasan
saat taat atau maksiat, maka kelak di akhirat, seluruh anggota badan
kita sendiri juga akan menjadi saksi atas seluruh apa yang kita jalani
di dunia. Saat itu, benar atau tidaknya alasan yang diungkapkan lisan,
akan dibuktikan dengan kesaksian seluruh anggota tubuh. Inilah makna
kedua dari firman Allah, ” ”balil insaanu ’ala nafsihi bashiirah, walau
alqaa ma’aadziirah,” bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Ibnu Abbas ra menafsirkan ayat ini, ”makna bashirah adalah saksi.
Yakni kesaksian seluruh anggota badan atas dirinya. Tentang tangannya,
apa yang telah ia jamah dengan keduanya, tentang kedua kakinya, kemana
ia melangkahkan keduanya, tentang matanya, apa yang telah ia lihat
dengan keduanya.”
Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala, ”
”Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS an-Nuur 24)
Maka jika kita sayang kepada diri sendiri, hendaknya berlaku jujur
dalam menilai diri sendiri. Lalu menepis segala hal yang melemahkan kita
dari ketaatan, dan memangkas jalan menuju kemaksiatan. Wallahul
muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)